Sabtu, 21 Desember 2013

Sikap terhadap istri yang selingkuh



Kebebasan bergaul yang berkembang dan sudah menjadi adat yang mendarah daging dalam sebagian kaum muslimin adalah satu musibah besar dan berimplikasi sangat buruk. Implikasi buruk ini tidak hanya mengenai sang wanita atau pria saja namun juga berakibat buruk bagi tatanan keluarga dan masyarakat.

Karena itulah Islam memberikan batasan pergaulan antara lawan jenis dengan demikian indah dan kuatnya, sehingga kemungkinan muncul perselingkuhan, pacaran dengan cinta monyet serta perzinahan dapat dicegah dan diputus sejak awal.
Ditambah lagi dengan hukuman keras bagi pezina baik yang belum pernah menikah maupun yang pernah menikah. Sayang masyarakat enggan menerapkannya sehingga terjadilah peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan seperti ini.

Dalam rumah tangga seorang suami haruslah menjadi pemimpin yang menampakkan kebijakan dan kemampuannya mengatur biduk rumah tangga.
Perselingkuhan disamping akibat kebebasan pergaulan yang ada dimasyarakat dan diperkenankan sang suami juga terkadang disebabkan karena sikap suami yang tidak mengetahui kebutuhan istri. Penampilan suami ketika menjumpai istri, cara bergaul dan bersikap sampai cara memberikan nafkah batin terkadang dapat memicu hal tersebut.

Yang jelas pergaulan wanita dengan lelaki lain secara bebas akan memberikan opini kepada wanita akan tipe lelaki yang lain lalu bisa jadi ia banding-bandingkan dengan suaminya.
Rasa bosan dengan suami dan mulut buaya dan sikap lelaki lain pun tidak kalah berbahayanya.

Oleh karena itu Syari’at islam sangat
menekankan seorang wanita membatasi
pergaulannya dengan lelaki asing (bukan suami dan mahramnya) dan tidak bersinggungan kecuali karena kebutuhan dan sebatas kebutuhannya saja.

Lalu bagaimana sikap suami bila sudah
mendapatkan musibah demikian. Orang yang ia cintai ternyata berselingkuh dengan lelaki lain.

Sebelum mengupas permasalahan itu, alangkah baiknya kita memahami bahwa dugaan berzina itu memiliki hukum sendiri. Syari’at islam sangat menjaga kehormatan wanita dan mengancam penuduh wanita berzina dengan ancaman berat.
Sebagaimana firman ALLAH;
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima keksaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya ALLAH Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama ALLAH, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat ALLAH atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama ALLAH sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat ALLAH atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar”
(QS. An-Nuur: 4-9)

Dalam ayat ini ALLAH membagi penuduh wanita mukminah berzina dalam dua kategori:


1. Orang yang menuduh bukan suaminya, maka wajib menghadirkan empat saksi yang melihat langsung kejadiannya atau wanita itu mengakuinya.
Apabila terjadi demikian maka wanita itu dihukum dengan hukuman pezina. Namun bila tidak mengakui dan tidak dapat menghadirkkan empat saksi maka penuduh didera (cambuk) delapan puluh kali dan tidak diterima persaksiannya selama-lamanya kecuali bila bertaubat.

2. Suami wanita tersebut, dalam hal ini sama dengan diatas, hanya saja bila wanita tidak mengakui dan ia tidak mampu menghadirkan saksi ia tidak dikenakan hukuman dera.
Akan tetapi ia harus melakukan mula’anah (saling melaknat) seperti dalam ayat diatas.


Bila sang istri terbukti selingkuh, walaupun tidak sampai berzina, maka tindakan yang paling tepat adalah wajib menceraikannya dan tidak sepantasnya seorang suami mempertahankan istri yang telah mencederai kesetiaannya dengan berbuat serong (dengan maknanya yang luas).
Sebab, istri telah melakukan kesalahan yang tidak bisa dipandang remeh. Menjalin hubungan asmara terlarang dengan lelaki lain, siapapun dia.

Syaikh Prof. DR. Shalih Fauzan Al-Fauzan
Hafizhahullah (seorang anggota majelis ulama besar kerajaan saudi Arabia dan anggota Islamic Fiqh Academy (IFQ) Liga Muslim Dunia (Rabithoh al-’Alam al-Islami)) memaparkan:
“Apabila keadaan istri tidak lurus agamanya, seperti meninggalkan shalat atau suka mengakhirkan pelaksanaannya di akhir waktu, sementara suami tidak mampu memperbaikinya, atau bila tidak memelihara kehormatannya, maka menurut pendapat yang rajih, suami dalam kondisi ini wajib untuk menceraikan istrinya.” (Al-Mulakhas Al-Fiqhi, 2/305)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Jika istri berzina, maka suami tidak
boleh tetap mempertahankannya dalam kondisi ini. Kalau tidak, ia menjadi dayyuuts (suami yang membiarkan maksiat terjadi di dalam rumah)”.

Adapun bila ia tidak mau bercerai dan mengaku masih mencintai suaminya, maka ini bohong. Bila ia cinta sama suaminya kenapa harus selingkuh.
Wanita yang baik dan normal tidak akan berselingkuh dengan lelaki lain, sebab ia memiliki rasa malu yang jauh lebih besar dari lelaki. Bila ia telah selingkuh dengan lelaki lain maka rasa malu tersebut tentunya hilang dan kemungkinan berselingkuh lagi sangat besar sekali. Bagaimana tidak? Ia tidak puas dengan suaminya yang ada dan telah merasakan keindahan semu selingkuhnya dengan PIL (pria Idaman Lain).
Wanita yang secara umum perasaannya lebih menguasai dari akal sehatnya tentu kemungkinan mengulanginya lagi itu sangat mungkin. Apalagi PIL nya tersebut masih membuka pintu baginya.

Karena itu nasehat terbaik kepada suami dalam menghadapi persoalan ini adalah, ceraikan saja wanita tersebut dan berilah ia kemudahan untuk mendapatkan yang ia angan-angankan.
Dengan bertawakkal kepada ALLAH dan
mengikhlaskan perceraian tersebut kepada ALLAH maka ALLAH akan menggantikan dengan yang lebih daik darinya.

Mudah-mudahan jawaban ini memberikan
pencerahan yang gamblang terhadap para suami yang tertimpa musibah memiliki istri tidak setia dan pelajaran bagi kita semua untuk berhati-hati dalam memilih pendamping kita. Lihat agamanya dan akhlaknya nanti kamu akan beruntung, seperti disabdakan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
 
( NAHI MUNGKAR ) FENOMENA SELINGKUH - Selingkuh memang fenomena gunung es di Indonesia ini. Lebih khususnya di masyarakat perkotaan. Simaklah berita nasional atau berita kriminal, mesti selalu saja ada berita pembunuhan terkait selingkuh. Sudah barang tentu semua yang masuk berita tidak termasuk yang melakukan dengan diam-diam atau yang hanya terdata di pendataan konsultan masalah keluarga dan rumahtangga. Dari pengalaman penulis ketika pernah menangani rubrik konsultasi keluarga di situs ini, topik selingkuh termasuk masalah yang sering muncul.

Ketika kita membuka search engine : ”data selingkuh”, ternyata ada banyak pembahasan yang muncul, antara lain ada data netral tentang statistik selingkuh, ada berbagai blog yang pro maupun kontra. Yang termasuk merisaukan adalah ada juga berbagai ”tips” agar selingkuh aman tidak ketahuan, atau berbagai berita pembunuhan terkait selingkuh atau bahkan iklan santet, pelet dan pengasihan dari ranah ilmu syirik dan lain sebagainya. Yang juga merisaukan adalah angka-angka yang disebutkan dari berbagai survai dengan kecenderungan semakin meningkat.

Sebuah media elektronik dalam obrolan santainya di Minggu pagi mengulas tentang topik ini, dan kembali mempertanyakan apakah selingkuh merupakan hal yang lumrah bagi masyarakat Indonesia modern?

( Selingkuh Tidak Ringan )

Selingkuh seolah ringan dibicarakan, padahal topik ini sedemikian berat dalam timbangan hukum Islam.

Coba renungkan:
1. Dalam Al Qur’an, jika seorang suami menuduh istrinya selingkuh atau sebaliknya, jika tuduhan tidak dicabut maka keduanya harus menempuh sumpah yang mengandung laknat Allah jika berdusta (Lihat QS 24:6-9).
2. Jika seorang yang sudah pernah menikah selingkuh sampai zina dengan orang lain, maka orang ini seharusnya mendapatkan hukum rajam sampai mati.
3. Orang yang menuduh wanita baik-baik telah selingkuh dan tak dapat mendatangkan empat saksi, maka selain mendapatkan hukuman cambuk, juga kesaksiannya tak bisa diterima selama-lamanya.

Masih banyak persoalan atau pembahasan seputar masalah perselingkuhan dalam hukum Islam, dan semuanya dibahas cukup rinci dan tentunya sudut pandang maupun solusinya seringkali sangat berbeda dengan kebanyakan hukum-hukum lain di dunia ini. Dalam contoh di atas, adanya kosekuensi ”laknat Allah” atau ”rajam sampai mati” atau ”kesaksiannya tidak bisa diterima selama-lamanya”, ketiganya bukan merupakan konsekuensi ringan.

Islam tidak pernah menganggap masalah seperti ini sebagai masalah ringan. Masalah selingkuh termasuk dalam wilayah masalah kehormatan rumahtangga (Al ’Irdl), dan urusan kehormatan merupakan urusan yang sangat serius. Sebagai contoh, pelecehan atas kehormatan seorang wanita muslimah di pasar Madinah telah disikapi ummat Islam waktu itu dengan memerangi Yahudi yang melakukan pelecehan tersebut dan juga kaumnya. Oleh karena itu secara hukum Had- pun selingkuh dikenakan hukum rajam dan harus sampai mati.

Itulah Islam dan hukum-hukumNya. Hukum langsung dari Allah SWT yang kini seringkali dilecehkan dan dianggap kuno, bahkan sudah banyak yang mengaku muslim turut serta ingin melakukan ”penulisan ulang” hukum Islam.

Hukum rajam bagi pezina yang sudah pernah menikah, atau pezina kedua kalinya, haruslah sampai mati. Hukum rajam sangat sering menjadi sasaran tembak para pembenci Islam karena dianggap sadis, tidak manusiawi. Padahal dalam sejarahnya, Nabi Muhammad SAW sendiri menjelaskan bahwa barang siapa yang berzina kemudian dirajam sampai mati, maka ketika dia bersikap Ikhlas karena Allah maka semua dosanya akan diampuni Allah. SubhanAllah! Pezina hanya punya satu kali kesempatan diampuni, yaitu ketika mau dirajam

Ada seorang rekan, Ia bertanya di mana ia dapat mejalankan hukum rajam agar ia diampuni Allah SWT karena ia pernah selingkuh sampai berzina dengan wanita lain. SubhanAllah. Dorongan dirinya untuk ber-taubatan nasuha sedemikian rupa hingga ia sangat ingin dirajam sampai mati, dan ia sangat kecewa ketika penulis mengatakan tidak ada yang dapat membantunya melaksanakan keinginan terebut karena negeri ini tidak berdasarkan hukum Islam sehingga tidak mungkin menjalankan hukum rajam. It is against the state law here! Berusahalah taubatan Nasuha, dengan kesungguhan dan mengadakan perbaikan, terus giar beribadah dgn kesungguhan, Insya Allah Allah tidak akan menuntut apa yang diuluar kemampuan kita. Wallahu a'lam.

Itulah IKHLAS, sesuatu yang para pembenci hukum Islam umumnya dan pembenci hukum rajam khususnya tak pernah dapat mengerti mekanismenya dalam diri seseorang.

Itulah sifat hukum dari Allah, hukum yang pasti dan hukum yang memahami semua sisi penciptaan manusia. Karena Allah-lah Yang Menciptakan manusia dan Allah juga Yang Membuat hukum untuk manusia, tak ada pertentangan atau konflik dalam realita keduanya. Rasa keadilan itu hanya diketahui takaran pastinya oleh Allah, manusia hanya menduga-duga dan kemudian mengikuti petunjuk Allah atau mengikuti hawa nafsunya.

Kembali kepada ”tren” selingkuh di negeri ini, tampaknya kerusakan ummat sudah sedemikian besar hingga selingkuh menjadi mode di negeri yang masih mayoritas muslim ini. Di negeri yang dihuni oleh banyak muslimin ini hukum yang berlaku bukanlah hukum yang mendukung pemeliharaan iman dan taqwa ummat, sehingga ummatpun kehilangan arah berpikir dan bertindak. Apalagi ketika konsekuensi syar’i atas perbuatan dosa kemudian ditiadakan atas kesepakatan masyarakat, Petunjuk diganti dengan suara terbanyak, hati nurani tak lagi bisa bersuara, maka tren dan mode menjadi raja. Dosa dianggap biasa, pendosa dianggap berjasa. Timbangan baik dan buruk sudah berubah dari timbangan Islam yang mengikuti petunjuk Sang Pencipta kepada petunjuk kesesatan yang memuja nafsu dan mentaati setan.

Berikutnya kita melihat bahwa manusia bukan lagi khawatir akan terjerumus melakukan dosa, bahkan bangga dan bergembira dengan aktifitas dosanya.

Sudah kecenderungan, jika sesuatu dosa sudah dianggap remeh maka semakin banyaklah yang berani melakukannya. Mencuri dan berzina adalah contohnya. Jika sekarang tidak jarang kita temukan seorang dengan terang-terangan mencuri dimuka umum (misalnya menjarah barang milik orang yang lengah atau barang milik umum), maka sebentar lagi tak heran jika orangpun akan berani selingkuh dan bahkan zina di muka umum. Konon di beberapa negeri hal ini sudah terjadi. Mengerikan. Sebab fenomena ini semakin memperjelas bahwa kedatangan Kiamat semakin dekat.

Manusia belum juga sadar akan bahaya pelanggaran aturan Allah. Bahkan semakin tidak sadar. Ketika rasa keimanan dan ketaqwaan yang dimiliki sudah sedemikian tipis sehingga tidak dapat lagi menjadi rem dari perbuatan dosa, dan karena hukum Allah sudah dipinggirkan, manusia bukan semakin damai, tetapi semakin sesat. Bukti nyata kita lihat di negeri-negeri Barat yang sudah lebih lama meninggalkan petunjuk. Di satu sisi kita lihat memang secara fisik mereka ”seolah” maju, namun secara moral mereka runtuh. Kata ”seolah” di sini digunakan karena jika ditelaah secara mendalam sebenarnya apa yang tampak bagus dalam peradaban fisik mereka ternyata di baliknya mengandung banyak sekali kerusakan. Kerusakan lingkungan alam, ambruknya ekonomi dunia, semakin banyaknya jenis-jenis penyakit baru menyerang manusia karena daya tahan alami hilang dan sebagainya.

Ketika tidak ada lagi petunjuk yang benar, manusia semakin terlena hingga tiba-tiba Allah Mencabut status nyaman dan nikmat yang mereka kejar-kejar di dunia ini dengan segala daya upaya dan keseriusan yang tinggi. Pada saat azab datang dengan tiba-tiba dari Allah karena pembangkangan yang sudah keterlaluan, maka sesungguhnya pintu taubat sudah tertutup. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.

Lebih lanjut lagi harus pula diingat, sebagai sebuah masyarakat yang hidup bersama di atas sepotong bumi Allah yang sama, orang beriman ataupun orang kafir, fasik dan zalim sama-sama akan menghadapi azab Allah yang ditimpakan ke daerah itu. Ketika azab sudah diputuskan, maka siapapun di atas potongan bumi itu akan menghadapinya, kecuali yang diselamatkan Allah. Kemudian kelak di Akhiratlah mereka baru dipisahkan sesuai keimanannya. Simak di ayat ini:

Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.
(QS 8:25).

Peringatan Allah di ayat ini ditujukan kepada orang yang tidak ikut melakukan dosanya, namun Allah Menyuruh mereka ”memelihara diri”. Bagaimana caranya:

1. Teruslah berusaha menghindari perbuatan dosa, terutama dosa besar
2. Istighfar-lah atas dosa-dosa kecil yang kita lakukan, dan janganlah dosa kecil diremehkan, karena segera setelah kita meremehkan, dosa kecil tersebut menjadi dosa penantangan kepada Allah, dan ini adalah dosa besar.
3. Putuskanlah hubungan dengan apa-apa yang dapat melanggengkan kebiasaan berdosa, misalnya kumpul-kumpul di kelab malam dengan berbagai minuman keras dan pergaulan bebas di sekitar.
4. Berusahalah menasehati atau berdakwah untuk mengajak orang meninggalkan dosa-dosa tersebut. Langkah ini adalah langkah yang paling penting. Sebab jika langkah 1 sampai 3 hanya merupakan langkah pengamanan diri pribadi, maka langkah ke empat adalah langkah pengamanan lingkungan diri kita sekaligus mengajak orang lain juga mencari aman.

Mungkin terlalu mudah untuk berkata-kata. Tetapi jika kata-kata tidak disampaikan, maka dakwah penyeruan dan peringatan agar orang terhindar dari azab Allah di dunia maupun Akhirat tak akan sampai ke pada mereka yang butuh peringatan

Bila Suami Dan Istri Saling Menuduh Selingkuh (Zina)

Sumpah Li’an Karena Tuduhan Selingkuh/Berzina.

Pernahkah kita mendengar seorang suami menuduh istrinya selingkuh/tidur bersama dengan lelaki lainnya? atau sebaliknya seorang istri menuduh suaminya berselingkuh/berzina dengan perempuan lainnya?

Rasa-rasanya, makin mudah saja mendengar khabar semacam ini. Lantas, apakah diperbolehkan sebenarnya untuk menuduh seseorang itu berzina, sedangkan kita mengetahui bahwa untuk menuduh seseorang yang berzina, haruslah mendatangkan saksi mata sebanyak 4 (empat) orang saksi.

Lihatlah apa yang difirmankan Allah ta’ala;
[24.4] Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.
Ya, menuduh seseorang tanpa bukti, maka hukumannya sangat berat, yakni dengan dijilid/ didera punggungnya dengan 80 kali deraan. Hal ini menunjukkan bahwa perkara menuduh seseorang berbuat zina, bukanlah perkara yang ringan di mata syariat Islam.

Lantas bagaimana kalau kemudian, yang menuduh istrinya selingkuh itu adalah suaminya sendiri? padahal ia tidak mempunyai 4 (empat) orang saksi?

Maka jalan keluarnya ada dalam ayat lanjutan dari QS An Nuur diatas;
[24.6] Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.
[24.7] Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.
Jadi, si suami yang menuduh istrinya selingkuh/berzina tadi dengan mengucapkan sumpah, empat kali sumpah, misalnya dengan kalimat: “Demi Allah…ucapan saya ini benar, bahwa istri saya telah melakukan perbuatan zina!”. Pada sumpah yang kelima, maka redaksinya berubah menjadi (contoh): “Demi Allah…Allah akan melaknatku apabila apa yang aku ucapkan ini adalah kebohongan semata!”

Lantas bagaimana dengan si istri? Maka istri pun bersumpah lima kali sumpah. Hal ini sesuai dengan ayat lanjutan diatas;
[24.8] Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta,
[24.9] dan (sumpah) yang kelima: bahwa murka Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.
Sama seperti halnya si suami, maka si istri yang dituduh selingkuh itu pun bersumpah lima kali. Empat kali ia bersumpah, menegaskan tuduhan si suami tidaklah benar, misalnya dengan kalimat: “Demi Allah…apa yang dituduhkan oleh suamiku itu tidaklah benar!” Lantas pada sumpah yang kelima, maka ia mengatakan bahwa murka Allah kepadanya, apabila ia memang berdusta, misalnya saja dengan kalimat: “Demi Allah, apabila saya berbohong, maka murka Allah atas diriku!”

Ini adalah yang diajarkan oleh Islam, jika sepasang suami istri didera oleh permasalah seperti yang sudah pernah terjadi di masa Rasulullah.

Ya, jika anda berkesempatan membaca hadits-hadits dalam Shahih Bukhari, setidaknya ada 2 (dua) kisah tentang perselingkuhan/perzinahan yang terjadi masa itu.

Yang pertama, dialami seorang sahabat yang bernama Uwaimir al ‘Ajlani, yang menuduh istrinya telah berbuat serong dengan laki-laki lain sehingga istrinya ini hamil. Uwaimir mengadu kepada Rasulullah tentang perkara ini, kemudian setelah turun ayat ini, maka saling bermula’anah (sumpah li’an) antara suami istri ini.

Kemudian Rasulullah mengatakan:”Perha
tikanlah, jika wanita ini melahirkan anak yang hitam kulitnya, hitam kedua matanya, montok pantatnya, dan besar kedua betisnya, maka saya tidak menduga Uwaimir kecuali benar atas istrinya. Jika wanita itu melahirkan anak yang berkulit merah, maka saya tidak menduga kecuali Uwaimir kecuali ia telah berdusta kepada istrinya
.”

Dan ternyata istri Uwaimir melahirkan seorang bayi yang berkulit hitam serta ciri-ciri yang sudah disebutkan oleh Rasulullah, dan benarlah sahabat Uwaimir ini atas tuduhannya.

Kisah kedua, dialami oleh Hilal bin Umayyah yang menuduh istrinya selingkuh dengan seseorang yang bernama Syarik bin Syahma’. Maka setelah Jibril mewahyukan kepada Rasulullah tentang ayat li’an ini, beliau memerintahkan kepada Hilal untuk bersumpah. Hilal pun bersumpah dan begitupun istrinya.

Kemudian Rasulullah berkata: “Lihatlah ia, jika ia melahirkan anak (yang seolah) memakai celak kedua matanya, besar pantatnya dan besar kedua betisnya, maka ia adalah anak dari Syarik bin Sahma.”

Dan ketika istri Hilal melahirkan, maka ia melahirkan sesuai dengan sabda Nabi tersebut, jadi benarlah perkataan Hilal ini.

Demikian, mudah-mudahan ini menjadi tambahan pengetahuan buat kita, sehingga kita bisa mempunyai pemahaman atas perkara ini.

Bahwa menuduh seseorang itu telah melakukan zina, sama sekali bukan perkara yang remeh! dan yang kedua, perkara zina, bukanlah perkara yang kecil, ia termasuk ke dalam dosa besar, sehingga seseorang yang terbukti melakukan perbuatan zina ini, jika dilakukan oleh orang yang belum kawin, maka ia didera, dan kemudian diasingkan selama satu tahun. Sedangkan apabila ia sudah menikah, maka ia dirajam sampai mati!

Wallahu a’lam

 

 

Penjelasan Khusus Tentang Batasan Aurat Wanita yang Boleh Tampak di Depan Mahram

  1. Batasan aurat wanita di depan suami. Allah ta’ala memulai firman-Nya dalam surat an-Nuur ayat 31 tentang bolehnya wanita menampakkan perhiasannya adalah kepada suami. Sebagaimana telah diketahui bahwa suami adalah mahram wanita yang terjadi akibat mushaharah (ikatan pernikahan). Dan suami boleh melihat dan menikmati seluruh anggota tubuh istrinya.Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan surat an-Nuur ayat 31, “Adapun suami, maka semua ini (bolehnya menampakkan perhiasan dan perintah menundukkan pandangan dari orang lain) memang diperuntukkan baginya (yakni suami). Maka seorang istri boleh melakukan sesuatu untuk suaminya, yang tidak boleh dilakukannya di hadapan orang lain.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]Allah ta’ala berfirman dalam kitab-Nya,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُو جِهِمْ حَفِظُونَ ۝ إِلاَّ عَلَى أَزْوَجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَنُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُمَلُومِينَ ۝
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela.” (Qs. Al-Ma’arij: 29-30)
Ayat di atas menunjukkan bahwa seorang suami dihalalkan untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar memandangi perhiasan istrinya, yaitu menyentuh dan mendatangi istrinya. Jika seorang suami dihalalkan untuk menikmati perhiasan dan keindahan istrinya, maka apalagi hanya sekedar melihat dan menyentuh tubuh istrinya. [Lihat al-Mabsuuth (X/148) dan al-Muhalla (X/33)]
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku mandi bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana yang berada di antara aku dan beliau sambil tangan kami berebutan di dalamnya. Beliau mendahuluiku sehingga aku mengatakan, ‘Sisakan untukku, sisakan untukku!’ ‘Aisyah mengatakan bahwa keduanya dalam keadaan junub.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 250) dan Muslim (no. 46)]
Ibnu ‘Urwah al Hanbali rahimahullah berkata dalam mengomentari hadits di atas, “Dibolehkan bagi setiap pasangan suami istri untuk memandang seluruh tubuh pasangannya dan menyentuhnya hingga farji’ (kemaluan), berdasarkan hadits ini. Karena farji’ istrinya adalah halal baginya untuk dinikmati, maka dibolehkan pula baginya untuk memandang dan menjamahnya seperti anggota tubuhnya yang lain.” [Lihat Aadaabuz Zifaaf (hal. 111), al-Kawaakib (579/29/1), dan Panduan Lengkap Nikah (hal. 298)]
Jadi, tidak ada batasan bagi seorang suami untuk melihat keseluruhan aurat istrinya, termasuk kemaluannya.
  1. Batasan aurat wanita di depan wanita lainnya. Aurat seorang wanita yang wajib ditutupi di depan kaum wanita lainnya, sama dengan aurat lelaki di depan kaum lelaki lainnya, yaitu daerah antara pusar hingga lutut. [Lihat al-Mughni (VI/562)]. Ibnul Jauzi berkata dalam kitabnya Ahkaamun Nisaa’ (hal. 76), “Wanita-wanita jahil (yang tidak mengerti) pada umumnya tidak merasa sungkan untuk membuka aurat atau sebagiannya, padahal di hadapannya ada ibunya atau saudara perempuannya atau putrinya, dan ia (wanita itu) berkata, “Mereka adalah kerabat (keluarga).’ Maka hendaklah wanita itu mengetahui bahwa jika ia telah mencapai usia tujuh tahun (tamyiz), karena itu, ibunya, saudarinya, ataupun putri saudarinya tidak boleh melihat auratnya.”Nabi shallallahu “alaihi wa sallam pernah bersabda,
يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ، وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ، وَلاَ يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِي الثَّوْبِ الْوَا حِدِ، وَلاَ تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةَ فِي الثَّوْبِ الْوَحِدِ .
و في روية : وَلاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عُـرْيَةِ الرَّجُلِ، وَلاَ تَنْظُرُ الْمَرْأَةُ إِلَى عُـرْيَةِ الْمَرْأَةِ .
“Janganlah seorang lelaki melihat aurat lelaki (lainnya), dan janganlah pula seorang wanita melihat aurat wanita (lainnya). Seorang pria tidak boleh bersama pria lain dalam satu kain, dan tidak boleh pula seorang wanita bersama wanita lainnya dalam satu kain.”
Dalam riwayat lain disebutkan,
“Tidak boleh seseorang pria melihat aurat pria lainnya, dan tidak boleh seorang wanita melihat aurat wanita lainnya” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 338), Abu Dawud (no. 3392 dan 4018), Tirmidzi (no. 2793), Ahmad (no. 11207) dan Ibnu Majah (no. 661), dari Abu Sa'id Al-Khudriy radhiyallahu "anhu]
Makna “uryah ( عـرية) (aurat) pada hadits di atas adalah tidak memakai pakaian (telanjang). [Lihat Panduan Lengkap Nikah (hal. 100)]
Adapun mengenai batasan aurat seorang wanita muslimah di depan wanita kafir, maka sebagian ulama berpendapat bahwa seorang wanita muslimah tidak boleh menampakkan perhiasannya kepada selain muslimah, karena lafazh أو نسآئهن yang tercantum dalam surat an-Nuur ayat 31 adalah dimaksudkan kepada wanita-wanita muslimah. Oleh karena itu, wanita-wanita dari kaum kuffar tidak termasuk ke dalam ayat tersebut, sehingga wanita muslimah tetap wajib untuk berhijab dari mereka. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284), Tafsir al-Qurthubi (no. 4625), Fat-hul Qaadir (IV/22) dan Jilbab Wanita Muslimah (hal. 118-119)]
Ada juga ulama yang berpendapat bahwa lafazh أو نسآئهن bermakna wanita secara umum, baik dia seorang muslimah ataupun seorang wanita kafir. Dan kewajiban berhijab hanyalah diperuntukkan bagi kaum lelaki yang bukan mahram, sehingga tidak ada alasan untuk menetapkan kewajiban hijab di antara wanita muslimah dan wanita kafir. [Lihat Jaami' Ahkaamin Nisaa' (IV/498), Durus wa Fataawaa al-Haram al-Makki (III/264) dan Fataawaa al-Mar'ah (I/73)]
Namun, pendapat yang paling mendekati kebenaran dan keselamatan -insya Allah- adalah pendapat pertama, karena pada awal ayat tersebut (Qs. An-Nuur: 31), Allah ta’ala memulai perintah hijab dengan lafazh وقل للمؤمنت yang artinya, “Dan katakanlah kepada wanita-wanita mukminah…“. Maka lafazh selanjutnya, yaitu أو نسآئهن lebih dekat maknanya kepada wanita-wanita dari kalangan kaum muslimin. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]
  1. Batasan aurat wanita di depan para budak. Di dalam ayat di atas, disebutkan أو ما ملكت أيمنهن atau budak-budak yang mereka miliki…”, di mana maksud ayat ini mencakup budak laki-laki maupun wanita. [Lihat al-Mabsuuth (X/157]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa seorang budak boleh melihat majikan wanitanya (dalam hal ini maksudnya adalah bertatap muka) karena kebutuhan. [Lihat Majmuu' al-Fataawaa (XVI/141)]Jadi seorang budak diperbolehkan melihat aurat majikan wanitanya sebatas yang biasa nampak, dan tidak lebih dari itu.
  2. Batasan aurat wanita di depan orang yang tidak memiliki hasrat (syahwat) terhadap wanita. Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan lafazh أوِ التبعين غير أولى الإربة من الرجال, , “Maknanya adalah para pelayan dan pembantu yang tidak sepadan, sementara dalam akal mereka terdapat kelemahan.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]. Maksudnya adalah orang-orang tersebut tidak memiliki hasrat terhadap wanita disebabkan usianya yang sudah lanjut, kelainan seksual (banci), atau menderita penyakit seksual (impoten/lemah syahwat). [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/165)]. Jika melihat realita pada zaman sekarang ini, orang-orang tersebut memang tidak akan berhasrat kepada wanita, namun mereka memiliki kecenderungan untuk menceritakan keadaan kaum wanita kepada orang lain yang memiliki hasrat kepada wanita, sehingga dikhawatirkan akan timbul fitnah secara tidak langsung. Oleh karena itu, hendaklah para wanita tidak membuka aurat mereka, kecuali yang biasa nampak darinya.
  3. Batasan aurat wanita di depan anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanitaMaksud lafazh أو الطـفـل الذين لم يظهروا على عورت النسآء adalah anak yang masih kecil dan tidak mengerti tentang keadaan kaum wanita dan aurat mereka. Anak yang belum memahami aurat, tidak mengapa bila dia masuk ke ruangan wanita. Adapun jika anak tersebut telah memasuki masa pubertas atau mendekatinya, di mana dia mulai mengerti tentang semua itu, dan dapat membedakan antara wanita yang cantik dan yang tidak cantik, maka dia tidak boleh lagi masuk ke dalam ruangan wanita. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]

Catatan Penting

Berikut ini adalah beberapa catatan penting yang harus diperhatikan dalam hal batasan aurat seorang wanita yang boleh ditampakkan di depan para mahram, yaitu:
  1. Seorang mahram, kecuali suami wanita tersebut, boleh melihat perhiasan seorang wanita -berdasarkan pada penjelasan terdahulu- dengan syarat bukan dalam keadaan menikmatinya dan disertai dengan syahwat. Jika hal itu terjadi, maka tidak syak (ragu) dan tidak ada khilaf (perselisihan) dalam masalah ini bahwa hal itu terlarang hukumnya. [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/159)]
  2. Seorang wanita boleh menanggalkan pakaiannya jika dia merasa aman dari kemungkinan adanya orang-orang asing yang dapat melihatnya dan ditempat orang-orang yang terpercaya (khusus yang menjadi mahramnya), di mana orang-orang tersebut mengetahui ketentuan-ketentuan Allah sehingga mereka menjaga kehormatan dan kesucian seorang muslimah. [Lihat Panduan Lengkap Nikah (hal. 103) dan tambahan penjelasan secara khusus dalam Syarah al-Arba'un al-Uswah (no. 26)]
  3. Dan hendaknya seorang wanita tetap memelihara hijabnya dan menjaga auratnya kecuali yang biasa nampak darinya, di depan seluruh mahramnya -kecuali suami-, agar muru’ah (kehormatan) dan “iffah (kesucian diri) dapat senantiasa terjaga.
Seorang wanita muslimah harus senantiasa memperhatikan hal-hal yang dapat menjerumuskannya ke dalam lembah kemaksiatan. Dia diharuskan untuk menjaga dirinya dari fitnah yang dilancarkan setan dari berbagai penjuru. Untuk itu, rasa malu lebih wajib untuk dimiliki oleh kaum wanita, sehingga dengannya seorang wanita muslimah dapat menjadi uswah (teladan) bagi saudarinya yang lain dalam berakhlaqul karimah.
Wallahu a’lam wal musta’an.
***
artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Maraji’:
  • Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Pustaka Ibnu Katsir
  • Fataawaa an-Nisaa’ (Edisi Terjemah), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ta’liq: Muhammad Muhammad Amir, cet. Ailah
  • Fat-hul Baari bi Syarh Shahiih al-Bukhari, Ibnu Hajar al-Asqalani, cet. Daar al-Hadits
  • Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq
  • Jilbab Wanita Muslimah Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Pustaka at-Tibyan

Panduan Huk

  • Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, cet. Pustaka Ibnu Katsir
  • Syarah al-Arba’uun al-Uswah Min al-Ahaadiits al-Waaridah fii an-Niswah, Manshur bin Hasan al-Abdullah, cet. Daar al-Furqan

Hukum Membuka Aurat Bagi Seorang Perempuan Terhadap Perempuan Lainnya

Selasa, 4 Juli 2006 14:21:35 WIB
HUKUM MEMBUKA AURAT BAGI SEORANG PEMBANTU (PEREMPUAN) TERHADAP TUAN RUMAH YANG PEREMPUAN.


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kami mempunyai pembantu wanita, bolehkah ia membuka auratnya di depan para penghuni rumah yang perempuan, perlu diketahui ia adalah wanita muslimah?

Jawaban
Seorang perempuan kepada perempuan lain, boleh saja melihat mukanya, kepala, kedua tangannya, lengan bawah, kedua kakinya dan betisnya baik ia itu muslim ataupun kafir. Berdasarkan pendapat yang benar dalam penafsiran firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

أَوْ نِسَائِهِنَّ atau wanita-wanita” [An-Nur : 31]

Bahwasanya yang dimaksud wanita di sini adalah Al-Jins (jenis) bukan Al-Wafsu (sifat). Namun ada pula sebagian ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wanita-wanita di sini adalah wanita-wanita Islam, dengan demikian tidaklah boleh bagi seorang wanita Islam membuka aurat kepada wanita kafir. Dan yang tepat adalah yang dimaksudkan dengan kata wanita-wanita di dalam ayat tersebut adalah Al-Jins (jenisnya) yaitu wanita-wanita dan yang termasuk jenis wanita, dengan demikian boleh bagi perempuan muslim membuka sebagian auratnya kepada wanita kafir.

Disini saya jelaskan pada satu masalah bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang perempuan melihat aurat perempuan lain, lalu sebagian wanita menyangka boleh saja seorang wanita memakai pakaian-pakaian pendek atau ketat yang tidak sampai ke lutut dan boleh memakai baju yang terlihat bagian dadanya sehingga tampak lengan atasnya, dada dan lehernya. Pendapat yang demikian salah, karena hadits ini menjelaskan ketidak-bolehan wanita melihat aurat perempuan lain, maka yang dibicarakan di sini adalah yang melihat bukan yang memakai, dan apapun bagi yang memakai maka wajib memakai pakaian yang menutup tubuhnya.

Adapun pakaian-pakaian isteri-isteri para sahabat sampai kepada pergelangan tangan, kaki dan kedua mata kaki, dan kerap kali ketika hendak pergi ke pasar, mereka memakai pakaian yang panjang sampai menutupi perbatasan hasta kaki. Demikian itu itu untuk menutupi kedua kaki mereka. Maka di sini terdapat perbedaan antara memakai dan melihat, yaitu bilamana seorang perempuan memakai pakaian yang menutupi auratnya, dan ini mengangkat pakaiannya karena suatu hajat atau lainnya, lantas terbukalah betisnya maka tidaklah haram bagi perempuan lain melihatnya.

Demikian pula bilamana perempuan tersebut berada di antara perempuan-perempuan lain, sedangkan ia memakai pakaian (baju) yang menutup auratnya. Lalu kelihatan payudaranya, karena ia ingin menyusukan anaknya, ataupun kelihatan dadanya, karena suatu sebab, maka yang demikian tidaklah mengapa bila kelihatan di depan mereka. Adapun wanita yang sengaja memakai pakaian yang pendek, maka yang demikian tidak boleh, karena hal tersebut mengandung keburukan dan kerusakan.

[Durus Wa Fatawa Haramil Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/264]

HUKUM MENAMPAKKAN RAMBUT DI HADAPAN WANITA NON MUSLIMAH

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah wanita membuka rambutnya di hadapan wanita-wanita non muslim, sedangkan mereka menceritakan kondisinya kepada kerabat laki-laki mereka yang juga bukan muslim?

Jawaban.
Pertanyaan ini berdasar pada perselisihan para ulama tentang penafsiran firman Allah.

" Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita .." [An-Nur ; 31]

Kata ganti dalam ayat أَوْ نِسَائِهِنَّ“ atau wanita-wanita, para ulama berselisih pendapat tentangnya, sebagian menafsirkan sebagai Al-Jins, yang maksudnya adalah jenis wanita secara umum. Ada yang menafsirkannya dengan Al-Wasfu (sifat), yaitu hanya wanita-wanita yang beriman saja. Menurut pendapat pertama, diperbolehkan bagi wanita untuk menampakkan rambutnya dan wajahnya di hadapan para wanita kafir dan tidak diperbolehkan menurut pendapat kedua. Kami cenderung memilih pendapat pertama, karena lebih mendekati kebenaran. Karena seluruh wanita itu sama, tidak berbeda antara kafir dan muslimah, apabila tidak dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah.

Adapun apabila dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah, misalnya wanita yang melihat akan memberitahukan kondisinya kepada kerabat laki-laki-lakinya, maka kekhawatiran timbulnya fitnah lebih didahulukan, dan tidak diperbolehkan bagi wanita untuk menampakkan sesuatu dari tubuhnya, semisal badannya, kedua kakinya, rambutnya dan lainnya di hadapan wanita lain, baik itu wanita muslimah atau non muslimah.

1 komentar:

  1. merit casino in 2021 - Cercasino.com
    Best Merkur and Merkur Solingen 2021. Merkur - Merkur Double Edge Safety Razor - German. หาเงินออนไลน์ Merkur Safety 1xbet Razors. Merkur Double Edge Safety Razor, MK-1601 - deccasino German.

    BalasHapus